Saya yakin sebagai seorang pendidik, guru juga manusia yang memiliki perannya masing-masing dalam kehidupan. Guru yang mengalami sendiri dari mana ia datang, mempunyai latar belakang, kemampuan, dan potensi yang unik dan berbeda pada tiap pribadinya. Seringkali sebagai individu kita bisa merasakan mana hal yang bisa menjadi "support" mana yang malah menjadikan kita "down". Dari hal-hal tersebut kita belajar bahwa proses pembelajaran datang dari pengalaman yang "dijalani", bukan dari hasil mendengar dan "diberi".
Murid yang sejatinya adalah individu unik dan sosial juga memiliki "pondasi"nya tersendiri, dimana pondasi ini terdiri dari bahan baku yang berbeda-beda. Guru sebagai pendidik dan pemimpin pembelajaran berhadapan dengan kodrat tersebut baik secara sadar maupun tidak. Ketika pembelajaran berlangsung, kompetensi dasar yang menjadi acuan seringkali terbentur dengan kodrat-kodrat alam dan zaman yang dihadapi. Murid seyogyanya bisa menjadi dirinya sendiri meski dalam rangka pembelajaran apapun (versi terbaik dirinya tentunya!).
Pada situasi-situasi pembelajaran yang sadar penuh akan kodrat alam inilah guru dituntut untuk dapat melakukan praktik komunikasi yang bersifat memberdayakan sebagai keterampilan dasar seorang pendidik untuk dapat melejitkan potensi muridnya. Dalam modul sebelumnya (2.1 dan 2.2) saya telah belajar mengenai pembelajaran berdiferensiasi dan pengembangan sosial emosional dimana untuk mengidentifikasi perbedaan (diferensiasi) tersebut dibutuhkan keahlian dasar komunikasi dalam pelaksanaannya. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang baik, aktif, dan efektif sehingga menimbulkan rasa nyaman sekaligus memacu ke arah yang lebih baik.
Teknik Coaching yang saya pelajari dalam Modul 2.3 ini merupakan teknik komunikasi yang bergaya asertif dimana seorang guru dapat membantu murid dalam menemukan sendiri tujuannya. Guru bukanlah dewa yang bisa menolong muridnya secara penuh, namun guru bisa membimbing dengan cara-cara tertentu agar murid mencapai sasaran yang dia inginkan. Dengan teknik coaching guru tidak serta merta mengajukan suatu solusi yang harus diikuti coacheei melainkan memberikan umpan pemikiran yang meninjau eerpa alternatif dan murid dengan kesadarannya sendiri memutuskan sesuai dengan kondisinya. Keterampilan tersebut menurut saya penting dalam rangka mewujudkan manusia yang merdeka lahir dan batin. Merdeka disini bukanlah bebas dan lepas tanpa aturan, namun murid dapat dengan sadar mengatur dirinya sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang ia yakini, yang berasal dari pembelajaran yang efektif dalam kehidupan sehari-hari.
Refleksi Pemahaman Modul 2.3
Coaching adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999)
Coaching juga berarti bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif (ICF).
Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. oleh sebab itu keterampilan coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Dalam proses coaching, murid diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya.
Saya mengenal sistem among yang dianut dalam pendidikan di Indonesia dengan semboyan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Dimana dari segala arah murid diberikan dorongan dan teladan dengan salah satu cara yang efektif adalah dengan coaching. Coaching merupakan proses dialog antara guru dan murid yang terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan persaudaraan. Berikut adalah Tut Wuri Handayani Mindset yang melandasi proses coaching.
Sistem Among (Tut Wuri Handayani) menjadi salah satu kekuatan dalam pendekatan pendampingan (coaching) bagi guru. Tut Wuri (mengikuti, mendampingi) mempunyai makna mengikuti/mendampingi perkembangan murid dengan penuh (holistik) berdasarkan cinta kasih tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa. Handayani (mempengaruhi) mempunyai makna merangsang, memupuk, membimbing dan memberi teladan agar murid mengembangkan pribadinya melalui disiplin pribadi. Among merupakan bahasa Jawa yang memiliki arti mengasuh, mengikuti, mendampingi. Guru (Pamong/Pedagog) adalah seorang memiliki cinta kasih dalam membimbing murid sesuai dengan kekuatan kodratnya. Guru sejatinya bebas dari segala ikatan/belenggu untuk menguasai dan memaksa murid. Sistem Among dapat disebut juga sebagai upaya memanusiakan sang anak sebagai seorang manusia (humanisasi).
Menilik kembali filosofi Ki Hajar Dewantara tentang peran utama guru (Pamong/Pedagog), maka memahami pendekatan Coaching menjadi selaras dengan Sistem Among sebagai salah satu pendekatan yang memiliki kekuatan untuk menuntun kekuatan kodrat anak (murid). Pendampingan yang dihayati dan dimaknai secara utuh oleh seorang guru, sejatinya menciptakan ARTI (Apresiasi-Rencana-Tulus-Inkuiri) dalam proses menuntun kekuatan kodrat anak (murid sebagai coachee). ARTI sebagai prinsip yang harus dipegang ketika melakukan pendampingan kepada murid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar